Pap pap pap pap pap bunyi mesin perahu yang terus kami dengarkan selama 3 jam perjalan dari pelabuhan paotere (makassar) ke pulau cangke. Pulau cangke yang terlatak di kabupaten pangkep merupakan tujuan ecologi camp yang dilakukan oleh GCC (gren communication club) kosmik unhas. Pada perjalanan kali ini kami beranggotakan 10 orang yang terdiri dari 7 orang cowok dan 3 orang cewek.
Pelabuhan paotere merupkan tujuan awal kami sebelum melanjutkan perjalan ke pulau cangke. di pelabuhan inilah kami bertemu dengan pak sampe. Pak sampe merupakan orang yang akan membawa kami ke pulau cangke dengan perahunya. Perahu dengan panjang 12 M dan lebar sekitar 2 meter inilah yang akan membwawa kami ke pulau canke
Tempat yang nyaman tidak selamannya mahal. Untuk ke pulau cangke kami hanya membutuhkan dana sekitar 60 ribu per orang itu semua sudah termasuk biaya transportasi dan makan kami di sana.membawa makanan secukupnya merupakan hal harus di perhatikan karena disana tidak jalanan yang lebar dengan kendaraan seperti mobil dan motor apalagi bangunan persegi yang berisi kebutuhan sehari hari. satu satuya transportasi yang ada disana hanya lewat laut, itupun kalau ada orang ke pulau cangke. air bersih merupakan barang yang sangat sulit ditemukan di pulau itu, jadi bagi teman teman yang ingin menikmati sunset dan sunrise pulau cangke kami sarankan supaya membawa air bersih yang cukup.
Beda, mungkin itulah kata yang cocok untuk menggambarkan perasaanku waktu itu. Pasirnya yang putih, airnya hijau kebiruan, bersih, sejuk, sepi, sangat berbeda dengan kondisi pantai pantai yang ada di makassar. Keindahannya tidak hanya sampai disitu, sunset dan sunrise meruapakan moment yang sayang untuk di lewatkan.
Pulau cangke tidak bisa dipisahkan dengan daeng abu dan daeng te’ne. Daeng abu dan daeng te’ne merupakan pasangan suami istri yang sudah menetap di pulau cangke sejak tahu 1972. “dulunya kata daeng abu pulau ini hanyalah gundukan pasir putih yang di tumbuhi rerumputan liar di atasnya, panas dan gersang. tapi dengan keuletannya menjaga dan menanaminya dengan pohon membuat pulau ini bak surga kecil di tengah laut dengan pohon pinus sebagai payungnya. Bukan cerita hidup kalau tidak ada dukannya, daeng abu yang selama ini menjaga dan menanammi pulau ini sehingga bisa seindah sekarang tidak bisa menikmatinya dengan sempurna, matanya mengalami kebutaan karena penyakit katarak yang sudah menahun di deritanya.
Pahlawan lingkungan mungkin kata itu yang pantas untuk mereka berdua (daeng abu dan daeng te’ne) setia menjaga pulau selama puluhan tahun, rasa terima kasihnya terhadap alam membuatnya setia menjaga dan merawatya hingga sampai sekarang.
Kita seharusnya malu kepada mereka berdua,walaupun serba kekurangan” mereka masih bisa memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kita, tapi bayangkan apa yang sudah kita lakukan pada diri kita dan orang orang tercinta di sekitar kita ? mau bertanya pada alam? Alam pun sudah tidak tau mau menjawab, yang mana, sudah terlalu banyak pertnyaan yang harus di tanggung oleh alam oleh ulah kita.